Setiap kali duduk bersama dan tekun menghadap laptop masing-masing, seringkali saya mencuri moment untuk melirik suami saya. Matanya tajam hanya melihat layar monitor tanpa melihat keyboard laptop.
Suami saya memang jagonya konsentrasi jika sudah tentang kerjaannya. Mata yang tajam menatap laptop sekali-kali menghela nafas dan sekali-kali menerawang melihat anak kami yang konsentrasi juga (nonton kartun).
Saya akui suami saya adalah salah satu orang tertekun di dunia (bagi saya).
Bagaimana tidak, usaha yang kami tekuni adalah setara level PIRT dengan banyak Industri besar sebagai pesaing kami. Naik turunnya income keluarga kami adalah hal biasa, membuat saya juga terbiasa menghadapi situasi.
Setiap menghadapi krisis persaingan, saya sangat salut dengan suami saya. Baginya yang terpenting adalah "Bertahan" (meksi didera kurugian), mungkin bagi suami saya "badai tidak akan berlangsung lama, selalu akan berakhir" (meski menurut saya badai akan tetap datang lagi dengan pola yang sama ) itulah hidup. tidak ada badai maka kita tidak teruji dan menjadi lebih baik).
Banyak kesan mendalam yang membekas di hati tentang perjuangan suami saya. Sejak kami berkenalan, yang saya kenal hanyalah perjuangan suami saya.
Lucunya perjuangan suami saya jarang sekali diperuntukkan untuk dirinya. Baginya yang penting adalah saya dan anak2 saya berkecukupan. Laptopnya adalah bekas laptop milik saya, sedangkan laptop saya selalu up-tudate. HP nya bisa dikatakan terlalu jadul untuk dimiliki oleh seorang "Bos", sedangkan saya adalah sebaliknya. Beli baju baru hanya pas lebaran saja .. sisanya adalah baju-baju jaman dulu (waktu kuliah). Celana yang dipakai adalah celana bekas bapak mertua saya.
Pernah saya sampai emosi karena dilarang membeli celana untuk suami (dirinya sendiri), setelah melihat banyak lubang bekas rokok di celana yang dipakainya. Baru setelah saya alasan, kalo ke masjid pakai celana yang bagus, jangan pakai yang lubang meski kecil (tapi banyak), akhirnya suami menyerah, meski akhirnya saya menyerah juga untuk beli celana suami cukup di pasar saja dengan harga yang sangat terjangkau.
Kadang miris merasakannya, tapi (kata suami saya) "ayah lebih sedih kalo bunda ndak bahagia". Padahal bahagia bagi saya adalah melihat suami saya semakin dewasa menghadapi masalah, dan layak sandang papan dengan menikmati jerih payahnya.
Bagaimanan pun juga, suami saya adalah seorang motivator (yang dia sendiri tidak sadari), suami saya adalah entrepenur sejati (dengan banyaknya cobaan beruntun), seorang yang tekun (selalu melihat hal baik dalam setiap hal). pertimbangan baik dan buruk selalu dicerna baik-baik.
Sedemikian saja, tulisan diatas hanya untuk menumpahkan perasaan bangga saya (yang diam-diam) terhadap suami saya.
Semoga senantiasa dalam perlindungan Allah SWT.
Suami saya memang jagonya konsentrasi jika sudah tentang kerjaannya. Mata yang tajam menatap laptop sekali-kali menghela nafas dan sekali-kali menerawang melihat anak kami yang konsentrasi juga (nonton kartun).
Saya akui suami saya adalah salah satu orang tertekun di dunia (bagi saya).
Bagaimana tidak, usaha yang kami tekuni adalah setara level PIRT dengan banyak Industri besar sebagai pesaing kami. Naik turunnya income keluarga kami adalah hal biasa, membuat saya juga terbiasa menghadapi situasi.
Setiap menghadapi krisis persaingan, saya sangat salut dengan suami saya. Baginya yang terpenting adalah "Bertahan" (meksi didera kurugian), mungkin bagi suami saya "badai tidak akan berlangsung lama, selalu akan berakhir" (meski menurut saya badai akan tetap datang lagi dengan pola yang sama ) itulah hidup. tidak ada badai maka kita tidak teruji dan menjadi lebih baik).
Banyak kesan mendalam yang membekas di hati tentang perjuangan suami saya. Sejak kami berkenalan, yang saya kenal hanyalah perjuangan suami saya.
Lucunya perjuangan suami saya jarang sekali diperuntukkan untuk dirinya. Baginya yang penting adalah saya dan anak2 saya berkecukupan. Laptopnya adalah bekas laptop milik saya, sedangkan laptop saya selalu up-tudate. HP nya bisa dikatakan terlalu jadul untuk dimiliki oleh seorang "Bos", sedangkan saya adalah sebaliknya. Beli baju baru hanya pas lebaran saja .. sisanya adalah baju-baju jaman dulu (waktu kuliah). Celana yang dipakai adalah celana bekas bapak mertua saya.
Pernah saya sampai emosi karena dilarang membeli celana untuk suami (dirinya sendiri), setelah melihat banyak lubang bekas rokok di celana yang dipakainya. Baru setelah saya alasan, kalo ke masjid pakai celana yang bagus, jangan pakai yang lubang meski kecil (tapi banyak), akhirnya suami menyerah, meski akhirnya saya menyerah juga untuk beli celana suami cukup di pasar saja dengan harga yang sangat terjangkau.
Kadang miris merasakannya, tapi (kata suami saya) "ayah lebih sedih kalo bunda ndak bahagia". Padahal bahagia bagi saya adalah melihat suami saya semakin dewasa menghadapi masalah, dan layak sandang papan dengan menikmati jerih payahnya.
Bagaimanan pun juga, suami saya adalah seorang motivator (yang dia sendiri tidak sadari), suami saya adalah entrepenur sejati (dengan banyaknya cobaan beruntun), seorang yang tekun (selalu melihat hal baik dalam setiap hal). pertimbangan baik dan buruk selalu dicerna baik-baik.
Sedemikian saja, tulisan diatas hanya untuk menumpahkan perasaan bangga saya (yang diam-diam) terhadap suami saya.
Semoga senantiasa dalam perlindungan Allah SWT.
Komentar