Wajar kalau sering kepleset ngomong. Khilaf istilahnya. Antara hati, nafsu dan otak tidak sinkron. Antara tiga organ tersebut ndak tahu siapa yang menang.
Soalnya bukan arisan kocokan apalagi undian cabutan (jaman SD). Cepet2an, belum campur tangan pihak ketiga a.k.a devils.
Begitu terucap atau berbuat, penyesalan datang, tapi masih pengen lagi dan lagi. Siklusnya berulang. Pinjam kiasan seperti roda berputar, baru stop berputar kalau ada yang bocor, kempes atau rusak jerujinya.
Syukurlah...diciptakan kata 'MAAF'. Vertikal dan horisontal. Kurang apa penawar dalam hidup ini.
Segala salah bisa disiram bersih hanya dengan 'MAAF'. Tapi, repeat mode dari 'MAAF' bisa membuat antipati. Semacam reaksi kebal hati. Ini yang bahaya.
Syukurnya lagi antipati tidak berlaku bagi hubungan vertikal (kecuali satu bagi yg ngerti). Ini yang terpenting, karena akhir tujuan hidup adalah menuju kepadaNya. Sedangkan pemaaf adalah salah satu sifatNya.
Secara horisontal, kebal dan bebal malah membuat hati semakin sakit. Meninggalkan kerak yang tak bersih meski disiram Vixal. Kecuali manusia yang memiliki hati selapang samudra.
Wajar pula, ada manusia yang memilih untuk menepi, mundur sejenak, menghindari perhatian, berdiam hanya untuk mengulang kembali dari nol. Salah...engga. Kita tidak tahu apa yang sudah dijalani olehnnya.
Salah kemudian maaf/tidak kemudian memulai lagi adalah hak dan kewajiban manusia.
Second chance istilahnya bagi yang beruntung, last chance bagi yg tidak beruntung.
Saya? ... OTW, ndak tahu yang mana 😄
Komentar