Sampai di pintu keluar restauran hotel, sosoknya benar-benar menghilang.
Syukurlah, aku tak menemukan dia, hiburku.
Di mulut berusaha bersyukur, tapi di hati ingin menemukan meski hanya melihat punggung tegapnya. Kembali terduduk lemas, sambil berpikir keras.
Puzle puzle memori berkelebat ke sana ke mari. Saling bermunculan kemudian tenggelam lagi. Menari nari tanpa irama penggiring. Mana yang kusuka itulah yang kunikmati, yang tidak kusuka kuletakkan di ruang memori yang lain, tersembunyi.
Seperti halnya ketika tangan saling berjabat dan mengucapkan 'Semoga dilancarkan menuju pelaminan ya Jaya'.
Mendesah kemudian mengulum senyum sinis. 'Membuang buang tenaga dan pikiran', hardikku pada diriku sendiri.
Seharusnya aku menikmati malam ini. Malam di kota penuh kenangan. Kota Mantan Yang Berhati Nyaman.
Kuputuskan untuk menggunakan kakiku agar lebih bermanfaat malam ini. Tidak mengapa sendirian, sembari mengingat masa lalu. Itu lebih baik, daripada berharap pada masa depan yang belum jelas. Apalagi masa depan bersama Jaya. Sesuatu yang jelas jelas tidak akan terjadi. Setengah yakin setengah berharap agar terjadi sebaliknya. Dasar plin plan.
Tak terasa kaki sudah melangkah menjauh dari hotel Melia. Tujuan pertama gudeg permata. Selain lapar, saya rindu gudeg basahnya.
Sepanjang perjalanan berusaha menyibukkan pikiran. Toleh kanan kiri. Warung Nasgor Ba2 masih buka ternyata dan masih ramai pengunjung. Teringat bersama 'kenangan 3 (sebutan sopan untuk mantan)' diselamatkan oleh penjualnya, dan disarankan makan nasi goreng sapi di daerah stadion kridosono.
Sampai di depan progo, teringat kembali 'kenangan 2', sopir pribadi sekaligus kuli angkut gratisan. Dan tak terasa sudah sampai di perempatan jalan hotel Limaran.
Tenggelam kepada kenangan itu manis. Lebih kepada mentertawakan kebodohan. Seandainya aljabar lebih menarik hati, sudah pasti saat ini aku sedang menikmati musim dingin dan bermain salju. Mimpiku.
Dan tiba2 sosok yang sejenak kulupakan tadi muncul. Bukan muncul di ingatan, namun berdiri tegap di depanku, dibawah sorot lampu jalanan perempatan hotel Limaran. Kami saling berpandangan tanpa ada kata. Wujudnya berdiri diam mematung. Raut wajahnya terpahat tegas dan tampan. Pesona fisiknya terungkap perlahan tapi pasti. Sorot matanya hangat seakan menawarkan diri mengisi ruang hati yang kosong. Tak mau kalah dengannya, akupun ikut mematung. Kaki ini bergetar, namun tak bisa mengalahkan getaran hati yang tak karuan. Dia diam memandang begitu pula aku. Beberapa detik, entah, menit malah.
Di tengah suasana bak drama korea, keheningan dan kebekuan suasana dipecahkan oleh gelak tawa yang tak asing. Bukan satu, tapi banyak. 'Haniii...loe ngapain disini. Tadi diajak ga mau.... Ikut yuk. Mau nyari gudeg ni.'
Dan dalam hati, ingin rasanya menghunus pisau pada sahabat setiaku itu. Kenapa harus sekarang? Kau tak tahu berharganya moment kebekuan tadi. Arghhh.
Jaya melewatiku dengan tenang tanpa kata, seperti biasa. Seolah aku tak mengenal dirinya yang sesaat lalu. Dengan sisa kekuatan hati dan tumit kaki yang masih berasa lemas, aku berjalan berlahan. Menyebrangi zebra cross perempatan. Ragaku berjalan, tapi entah dengan pikiranku.
Dan doaku terkabul. Berjalan melihat punggung tegapnya. Penyesalan dan rasa syukur bercampur menjadi satu.
- bersambung -
Komentar