“Ayo … kalau berani nyusul ke sini”. “Disana pasti membosankan. Sitting and listening, ordinary activities”, tak lupa kutambahkan icon “ngikik”.
“Yup, its boring here” ketik Jaya. “Hm … tidak menyesal?” Jaya bertanya.
“Menyesal kenapa?”, tanyaku.
“Kalau aku benar-benar menyusulmu ke Surabaya?” lanjut Jaya.
“It's OK. Kan mengunjungi teman”, dalam hatiku sebenarnya berbunga-bunga. Niat, meskipun besar kemungkinan tidak terjadi, pada akhirnya tetap berhasil membuat paru-paruku berkembang terisi udara kebahagiaan.
“Bagaimana jika satu-satunya alasanku menyusulmu ke Surabaya karena ingin bertemu denganmu” balas Jaya.
Handphone hampir terlepas dari genggaman, kursi tak sanggup menahan gejolak hati yang tiba-tiba tak karuan hingga hampir terjatuh. Untungnya di seminar kali ini aku duduk di bagian belakang. Tak banyak yang memperhatikan betapa memerahnya wajahku membaca pesan Jaya.
“Are you ok?” ketik jaya dengan jeda sekitar 2 menit.
“Im not ok. Kamu gila Hani, lebih-lebih kamu Jaya” bantinku mencoba kembali lagi ke dunia nyata. Tapi yang terketik olehku.. “Yes i'm ok. It’s the most romantic way to said it” “Aku ingin bertemu denganmu", tanganku lemas. Sesaat aku protes, kenapa jawabanku malah mengundang maut.
Satu menit kemudian muncul pesan baru dari Jaya, “Boleh bertanya sesuatu?”
“Silahkan” Jawabku kembali tenang.
“Kenapa kamu mematung saat bertatap muka dengaku waktu di Jogja dulu? Sejak saat itu dirimu selalu tertunduk tidak mau melihatku” … lanjut Jaya.
Bimbang menggelanyuti pikiranku. Meskipun janur kuning belum melengkung, etiskah aku jujur mengungkapkan perasaanku saat statusnya “telah bertunangan dengan wanita lain”. Tapi, hanya dia satu-satunya alasanku bisa bertahan di kantor. Melihat dirinya setiap hari adalah energi positif. Dekat dengannya, aku menjadi diriku, diriku yang tenang. Selama ini dia adalah rahasia terindah di hatiku. Telah berkali-kali aku mencoba membuang sosoknya dari pikiran dan hatiku, tapi tidak pernah berhasil. Ataukah aku harus membiarkan sosoknya bersemanyam di tempat yang seharusnya, berkembang atau layu nantinya biarlah takdir yang menentukan.
“Aku malu mengakui bahwa aku nyaman di dekatmu. Hanya itu satu-satunya cara menyembunyikannya” aku menjawabnya penuh dengan kehati-hatian, jangan sampai yang terjadi adalah “bang … zonk … ini hanya permainan”.
“Aku telah lama merasakannya setiap kali kita berdekatan. Awalnya saya ragu, tapi kejadian di Jogja memberiku kepastian akan perasaan mbak Hani”, aku membaca pesannya dalam kebisuan ruangan rapat yang hingar bingar karena telah masuk waktu coffe break.
“Are you ok, if someday our relationship growing become love? And with other women beside me?”, ketik Jaya, “Yes I have feelings for you” ungkapnya. Pesan terakhir membuatku tak bisa berkata-kata.
Ya, aku mendapatkan balasan perasaanku yang selama ini aku tunggu-tunggu, tapi aku sadar, aku hanya bagian “sementara” dalam hatinya. Suatu saat aku harus rela melepasnya jika waktu nya tiba. Tidak ada protes, tidak ada sakit dan tidak ada tangis. Siapkah diriku melaluinya kelak?
Sangat berat membalas kata-katanya, saat aku jatuh cinta padanya, yang aku tahu aku tak bisa memiliki seutuhnya seperti pasangan yang lain. Aku tak kuasa menolak datangnya perasaan ini, semakin aku tolak semakin menyakitkan. Biarlah takdir mengambil perannya dalam kisah cintaku kali ini.
“Yes, I want to be your favorite place to go, in a bad and a good day”, … ketikku dengan hati yang berdebar-debar. Tanpa menunggu jeda lama, tiba-tiba telefon berdering. Di layar handphone muncul kontak “Jaya-Kantor”. Bergegas aku keluar ruangan.
“Hai, are you fine? Cause im not. I want to see you” … suara Jaya menyapaku. Suara yang aku rindu beberapa hari terakhir ini.
Komentar