Langsung ke konten utama

Bagian 4. “Aku Mencitaimu, Suamiku”


Bocah-bocah berlarian mengitari ayahnya yang sedang mengantri tiket bioskop. Sesekali berhenti, ketika yang paling kecil protes pada kakak-kakaknya. Aku sendiri sedang duduk bersandar di dinding sambil mengelus perut buncitku. Sudah menginjak 5 bulan, dan 4 bulan lagi bidadari kecil akan hadir di tengah-tengah kami. Lengkap sudah kebahagiaanku. Dari jauh aku memandang sosok suamiku dari belakang. Suamiku menoleh kebelakang dan tersenyum kepadaku. Aku membalas senyumannya dengan kehangatan yang luar biasa. Ungkapan syukurku yang tidak bisa kuutarakan.

Sepasang muda-mudi dewasa berjalan di depanku, bergandengan tangan erat gaya lock fingers. Membuatku menerawang jauh kembali ke masa lalu, mengingatkanku pada Mas Jaya dulu. Meski aku jauh lebih tua darinya, aku memanggilnya dengan hormat “Mas”. Tidak penting tapi membuatku merasa dilindungi saat memanggilnya. Kemanapun kami pergi saat berjalan berdua, Mas Jaya tidak pernah melepaskan tangannya. Kadang dia membawa genggaman tangan kami ke dadanya dalam diam. Sampai sekarang aku penasaran dengan apa yang di pikirannya saat melakukan itu.

Saat terindah adalah ketika Mas Jaya membawa hubungan kami ke tahap yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Sebuah cincin tergeletak di meja kantor lengkap dengan setangkai mawar warna biru, beralaskan secarik kertas dengan tulisan.

“Datanglah ke ruanganku. Jika kau bersedia menjadi pendampingku, akan kupasangkan cincin ini untukmu”.

Saat dia memutuskan pertunangannya, seisi kantor biasa saja. Begitu tahu aku menjadi sebabnya, seisi kantor menjadi ramai. Sahabatku tak habis pikir jika kami telah memulainya lama dalam diam, tanpa ada yang tahu. Meskipun dua bulan berlalu dan suasana di kantor sangat canggung sekali, tapi dalam hati, terbukanya kami adalah kebahagiaan yang indah. Dan saat dia meminangku membuat air mataku mengalir tanpa suara. Akhirnya aku dipilih untuk memilikinya, seutuhnya.

“I Love U”, kataku dihadapannya

“I Love U more”, mata Mas Jaya menatapku dalam, mengecup keningku lama lalu memasangkan cincin di jariku. Hanya isakku yang menjadi jawab kebahagianku saat itu.

Aku tak perduli suara bising ricuh teman-teman di ruangan. Rasanya duniaku kembali utuh, masa lalu sedih penuh perjuangan hancur menjadi debu terbayar oleh hari ini. Satu tahun yang lalu tiada artinya dibandingkan dengan pinangannya yang hanya dalam sekian menit. Ada saat hatiku selalu berdebar debar karena Mas Jaya. Setiap hari dia menyakinkan aku betapa berartinya diriku baginya. Mas Jaya menjadi “everything” bagiku.

Namun tiba-tiba dia menjadi “Nothing”.

Ibunya tiba-tiba jatuh sakit tiga bulan sebelum acara besar kami. Ibunya masih belum rela Mas Jaya memilihku. Beliau lebih memilih tunangan Mas Jaya dulu, karena kedekatan keluarga dan sebagainya. Aku belum cukup luar biasa bagi Ibu Mas Jaya. Ibunya memberikan ultimatum yang menjadi bom hirosima pada hubungan kami.

Aku sendiri sadar, Mas Jaya adalah masih milik Ibunya meskipun kelak dia menikah denganku. Mas Jayapun jatuh sakit karena bimbang, sesuatu yang sangat berat menggantung di pundaknya. Saat itu Mas Jaya masuk rumah sakit dua minggu lamanya. Aku sendiri tak bisa berkata apa-apa, kegundahan yang luar biasa juga menyelimutiku.

Aku ingat dengan jelas moment saat aku bersujud lama di dini hari itu. Hari jumat di bulan Juni, sajadah biruku basah oleh tangisanku. Aku pasrahkan semua takdir kepadaNya, ketika tidak ada kata “Hidup Bersama sebagai suami istri” yang Dia gariskan di buku hidup kami. Aku pun mengetuk palu keputusan.

Aku hancur berkeping-keping kembali. Lebih hancur dari yang biasanya. Dengannya aku tahu artinya melepaskan harta terindah. Saat melepasnya aku juga melepas pekerjaanku dan kembali ke rumah untuk menata hati dan perasaanku. Lima bulan lamanya aku terpuruk sedih. Kuputus semua komunikasi sepihak. Kata-kata terakhirku adalah “kita tidak ditakdirkan hidup bersama. Ibumu adalah surgamu. Selamat tinggal”

Dan kuputuskan memulai hidup baru jauh dari Mas Jaya dan semuanya. Aku pergi menyebrang pulau, mencari kehidupan dan kesibukan baru. Satu tahun belum cukup melupakan Mas Jaya, dua tahun belum, tahun ketiga pun aku belum sanggup.

Sampai suatu ketika bulan Oktober di tahun keempat, Jodoh mendatangiku. Satu paket lengkap, dia dan anak-anaknya yang membutuhkan sosok Ibu. Aku geli membaca takdirku, di umurku yang sudah kepala empat dan cita-citaku memiliki anak yang banyak, aku tak perlu berat-berat mengandung.  Anak-anak yang sehat dan lucu. Aku bahagia luar biasa mendapatkannya. Aku tak malu dengan predikat duda yang disandangnya.

Melihatnya pertama kali, perasaan yang muncul adalah rasa hormat dan segan. Namun segan dan hormat malah membuatku nyaman dan merasa dilindungi. Kami saling bercerita seperti sepasang sahabat yang lama tidak pernah bertemu. Bercanda dan mengejek satu sama lain mengalir tanpa ada kecanggungan, meskipun baru satu bulan saling menyapa. Cinta … ya, aku menemukan di dalam tatapan mata Mas Agam yang dalam sampai menusuk jauh.

Aku menyambutnya tanpa ada beban, tanpa perlu bersembunyi, tanpa ada isak tangis dan tanpa ada pihak yang dirugikan. Aku menerimanya pada tahap kedewasaan, tidak ada rasa menggebu-gebu atau asmara yang berapi-api di dalamnya. Aku membangun hubungan seperti saat mentari pagi menyapa langit di subuh hari. Tenang dan menghangatkan, tapi tetap memiliki keindahaan asmara yang hanya kami berdua yang mengerti.

Mas Agam berjalan menghampiriku, senyuman membuat kedua matanya sedikit menutup. Aku membalas tersenyum, menyambut jemarinya yang panjang dan kokoh. 

Aku berdiri bersandar di dadanya sambil berbisik “I Love U My Gorgeous, Agam”.

Mas Agam mencium keningku dalam sambil berucap pelan “Love U too, SunShine”

TAMAT

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pindah PNS (Sebelum Waktu-nya)

Kantor Akhir 2007 saya diterima kerja sebagai Calon PNS BPOM. Apa itu BPOM ? (Badan Pengawas Obat dan Makanan). Dulunya adalah Direktorat Jendal dari Departemen Kesehatan, Mirip Bea Cukai yang masih Direktorat Jendralnya Departemen Keuangan. Saya langsung kerja awal tahun 2008, boyongan dari Mataram-NTB ke Jakarta, karena saya ditempatkan di BPOM (Pusat), tepatnya di Direktorat Pengawasan Obat dan Makanan. Disini saya adalah komputer di sarang Apoteker ^ ^. Keseharian saya mengatur data tentang perusahaan Obat dan Makanan serta kerjaan Administratif lainnya. Bagaimana Awalnya? Suami adalah seorang wiraswata, tentunya ada maju dan mundur, jatuh dan bangun. Karena wiraswasta, jadi lebih fleksibel untuk mengikuti saya pindah kerja. Awalnya okay-okay saja, lalu sampai pada titik "kita tidak cocok tinggal di Jakarta". Dengan pertimbangan ingin berbakti kepada Orang Tua suami (secara suami anak pertama), akhirnya suami ngelamar dan diterima kerja sebagai PNS juga di Mataram. ...

Pilihan ...

  Malam itu ... hujan deras sedari jam 7 malam. Sempat berhenti sejenak sesudah adzan magrib. Sesudah sholat, mengayuh sepeda ke tempat les persiapan ujian EBTANAS SMA. Pak Eko, guru yang memiliki keterbatasan fisik, tapi tidak dengan otak, visi, keteguhan, kesabarannya. Hujan masih deras menghantam genting rumah pak Eko. Hampir menujukkan pukul 10 malam. "Duh, bisa marah besar pulang selarut ini". "Pak saya pamit ya, takut Bapak marah saya pulang kemalaman". "Telfon saja, masih hujan ini". "Ndak apa2 pak, sekalian mandi" "Duluan yak, Assalamualaikum...". Mengambil sepeda, menerobos hujan super lebat. Jalanan super sepi, duet angin menderu dan irama hujan sempat membuat merinding. Jujur, takut juga. Terpikir besok ganti jam les, karena musim hujan, takut terulang lagi seperti ini. Menerobos malam adalah hal biasa, tapi kombinasi hujan dengan angin menderu, rasanya tak mampu. Daya pandang yang terbatas, jalan sepi. Takut. Ditambah ada pe...

“Berhemat dengan Legundi di Hari Raya – Bunda Bahagia, Anak tetap Senang”

Keputusan pulkam Lebaran ke Malang tahun ini memang terkesan mendadak. Diantara kerinduan pulkam karena setahun sebelumnya belum diberikan kesempatan serta perhitungan budget untuk renovasi rumah, akhirnya sepakat menggunakan KMP Legundi. Malam Selasa langsung memutuskan pulkam ke Jawa setelah membaca berita di website koran lokal bahwa ada keberangkatan kapal Legundi di hari Rabu esoknya. Sebelumnya berencana naik pesawat di hari H Lebaran dan berdiskusi tentang kemungkinan balik Mataram naik kapal bersama anak semata wayang - Oza.   Oza sendiri antusias mendengar liburan menggunakan kapal laut. Selain alasan “baru pertama kali”, Oza merasa lebih aman karena bekal kemampuan renang yang dikuasainya. Mengertilah maksud saya …^^ Alhasil packing barangpun mendadak, dimulai malam jam 11 sampai menjelang dini hari. Tak lupa mencari tambahan informasi dari internet khusunya di http://www.indonesiaferry.co.id    tentang reservasi tiket KMP Legundi. Perasaan was-was lum...