Bocah-bocah berlarian mengitari ayahnya yang sedang
mengantri tiket bioskop. Sesekali berhenti, ketika yang paling kecil protes
pada kakak-kakaknya. Aku sendiri sedang duduk bersandar di dinding sambil
mengelus perut buncitku. Sudah menginjak 5 bulan, dan 4 bulan lagi bidadari
kecil akan hadir di tengah-tengah kami. Lengkap sudah kebahagiaanku. Dari jauh
aku memandang sosok suamiku dari belakang. Suamiku menoleh kebelakang dan tersenyum
kepadaku. Aku membalas senyumannya dengan kehangatan yang luar biasa. Ungkapan syukurku
yang tidak bisa kuutarakan.
Sepasang muda-mudi dewasa berjalan di depanku, bergandengan
tangan erat gaya lock fingers. Membuatku menerawang jauh kembali ke masa lalu,
mengingatkanku pada Mas Jaya dulu. Meski aku jauh lebih tua darinya, aku
memanggilnya dengan hormat “Mas”. Tidak penting tapi membuatku merasa
dilindungi saat memanggilnya. Kemanapun kami pergi saat berjalan berdua, Mas Jaya
tidak pernah melepaskan tangannya. Kadang dia membawa genggaman tangan kami ke
dadanya dalam diam. Sampai sekarang aku penasaran dengan apa yang di pikirannya
saat melakukan itu.
Saat terindah adalah ketika Mas Jaya membawa hubungan kami
ke tahap yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Sebuah cincin tergeletak
di meja kantor lengkap dengan setangkai mawar warna biru, beralaskan secarik
kertas dengan tulisan.
“Datanglah ke ruanganku. Jika kau bersedia menjadi
pendampingku, akan kupasangkan cincin ini untukmu”.
Saat dia memutuskan pertunangannya, seisi kantor biasa saja.
Begitu tahu aku menjadi sebabnya, seisi kantor menjadi ramai. Sahabatku tak
habis pikir jika kami telah memulainya lama dalam diam, tanpa ada yang tahu. Meskipun
dua bulan berlalu dan suasana di kantor sangat canggung sekali, tapi dalam
hati, terbukanya kami adalah kebahagiaan yang indah. Dan saat dia meminangku
membuat air mataku mengalir tanpa suara. Akhirnya aku dipilih untuk memilikinya,
seutuhnya.
“I Love U”, kataku dihadapannya
“I Love U more”, mata Mas Jaya menatapku dalam, mengecup
keningku lama lalu memasangkan cincin di jariku. Hanya isakku yang menjadi
jawab kebahagianku saat itu.
Aku tak perduli suara bising ricuh teman-teman di ruangan. Rasanya
duniaku kembali utuh, masa lalu sedih penuh perjuangan hancur menjadi debu
terbayar oleh hari ini. Satu tahun yang lalu tiada artinya dibandingkan dengan pinangannya
yang hanya dalam sekian menit. Ada saat hatiku selalu berdebar debar karena Mas
Jaya. Setiap hari dia menyakinkan aku betapa berartinya diriku baginya. Mas
Jaya menjadi “everything” bagiku.
Namun tiba-tiba dia menjadi “Nothing”.
Ibunya tiba-tiba jatuh sakit tiga bulan sebelum acara besar
kami. Ibunya masih belum rela Mas Jaya memilihku. Beliau lebih memilih tunangan
Mas Jaya dulu, karena kedekatan keluarga dan sebagainya. Aku belum cukup luar
biasa bagi Ibu Mas Jaya. Ibunya memberikan ultimatum yang menjadi bom hirosima pada
hubungan kami.
Aku sendiri sadar, Mas Jaya adalah masih milik Ibunya
meskipun kelak dia menikah denganku. Mas Jayapun jatuh sakit karena bimbang,
sesuatu yang sangat berat menggantung di pundaknya. Saat itu Mas Jaya masuk
rumah sakit dua minggu lamanya. Aku sendiri tak bisa berkata apa-apa, kegundahan
yang luar biasa juga menyelimutiku.
Aku ingat dengan jelas moment saat aku bersujud lama di dini
hari itu. Hari jumat di bulan Juni, sajadah biruku basah oleh tangisanku. Aku
pasrahkan semua takdir kepadaNya, ketika tidak ada kata “Hidup Bersama sebagai
suami istri” yang Dia gariskan di buku hidup kami. Aku pun mengetuk palu keputusan.
Aku hancur berkeping-keping kembali. Lebih hancur dari yang
biasanya. Dengannya aku tahu artinya melepaskan harta terindah. Saat melepasnya
aku juga melepas pekerjaanku dan kembali ke rumah untuk menata hati dan
perasaanku. Lima bulan lamanya aku terpuruk sedih. Kuputus semua komunikasi
sepihak. Kata-kata terakhirku adalah “kita tidak ditakdirkan hidup bersama.
Ibumu adalah surgamu. Selamat tinggal”
Dan kuputuskan memulai hidup baru jauh dari Mas Jaya dan
semuanya. Aku pergi menyebrang pulau, mencari kehidupan dan kesibukan baru. Satu
tahun belum cukup melupakan Mas Jaya, dua tahun belum, tahun ketiga pun aku
belum sanggup.
Sampai suatu ketika bulan Oktober di tahun keempat, Jodoh
mendatangiku. Satu paket lengkap, dia dan anak-anaknya yang membutuhkan sosok
Ibu. Aku geli membaca takdirku, di umurku yang sudah kepala empat dan cita-citaku
memiliki anak yang banyak, aku tak perlu berat-berat mengandung. Anak-anak yang sehat dan lucu. Aku bahagia luar
biasa mendapatkannya. Aku tak malu dengan predikat duda yang disandangnya.
Melihatnya pertama kali, perasaan yang muncul adalah rasa hormat
dan segan. Namun segan dan hormat malah membuatku nyaman dan merasa dilindungi.
Kami saling bercerita seperti sepasang sahabat yang lama tidak pernah bertemu. Bercanda
dan mengejek satu sama lain mengalir tanpa ada kecanggungan, meskipun baru satu
bulan saling menyapa. Cinta … ya, aku menemukan di dalam tatapan mata Mas Agam
yang dalam sampai menusuk jauh.
Aku menyambutnya tanpa ada beban, tanpa perlu bersembunyi,
tanpa ada isak tangis dan tanpa ada pihak yang dirugikan. Aku menerimanya pada
tahap kedewasaan, tidak ada rasa menggebu-gebu atau asmara yang berapi-api di
dalamnya. Aku membangun hubungan seperti saat mentari pagi menyapa langit di
subuh hari. Tenang dan menghangatkan, tapi tetap memiliki keindahaan asmara yang
hanya kami berdua yang mengerti.
Mas Agam berjalan menghampiriku, senyuman membuat kedua
matanya sedikit menutup. Aku membalas tersenyum, menyambut jemarinya yang panjang
dan kokoh.
Aku berdiri bersandar di dadanya sambil berbisik “I Love U My Gorgeous,
Agam”.
Mas Agam mencium keningku dalam sambil berucap pelan “Love U
too, SunShine”
TAMAT
Komentar