Malam itu ... hujan deras sedari jam 7 malam. Sempat berhenti sejenak sesudah adzan magrib. Sesudah sholat, mengayuh sepeda ke tempat les persiapan ujian EBTANAS SMA. Pak Eko, guru yang memiliki keterbatasan fisik, tapi tidak dengan otak, visi, keteguhan, kesabarannya.
Hujan masih deras menghantam genting rumah pak Eko. Hampir menujukkan pukul 10 malam. "Duh, bisa marah besar pulang selarut ini". "Pak saya pamit ya, takut Bapak marah saya pulang kemalaman". "Telfon saja, masih hujan ini". "Ndak apa2 pak, sekalian mandi"
"Duluan yak, Assalamualaikum...". Mengambil sepeda, menerobos hujan super lebat. Jalanan super sepi, duet angin menderu dan irama hujan sempat membuat merinding. Jujur, takut juga. Terpikir besok ganti jam les, karena musim hujan, takut terulang lagi seperti ini.
Menerobos malam adalah hal biasa, tapi kombinasi hujan dengan angin menderu, rasanya tak mampu. Daya pandang yang terbatas, jalan sepi. Takut. Ditambah ada perasaan diikuti seseorang dari jauh, semakin mempercepat kayuhan sepeda. Komat kamit berdoa. Dan sampailah ... Malam berlanjut berganti hari.
"Sakit dia, ga masuk" jawab temanku. "Eh ... kok ga nelfon", batinku sambil memandang sekitar berharap dia datang. Tiba-tiba ada yang menyentuh pundak "Dha, sini dah. Fadli sakit demam. Tadi aku mampir kerumahnya". "Lah, kok ga kasih kabar", protesku.
"Tau ga, Fadli kemarin hujan-hujan nunggu kamu selesai les. Dia ngikutin kamu, takut kamu kenapa2". Terdiam ... ternyata dia di belakangku, mengantar sampai rumah. Memastikan aku pulang selamat. Di bawah guyuran hujan lebat.
"Dia tu sayang banget ke kamu. Ndak berani ngomong. Aku ga ngomog ke siapa-siapa kok". "Sana telfon dia", pinta temanku lalu beranjak pergi. Aku terdiam.
Seandainya hujan tidak turun, aku tak pernah tahu betapa besar rasanya kepadaku. Kami saling membatasi jarak. Dia tahu posisinya, dia hanya seseorang biasa, sedangkan aku orang yang bisa lebih (menurutnya). Katanya "Belajar yang benar ya, jadi orang sukses. Jangan seperti aku'.
Kerap aku melihat dia mencuri pandang, saat mata bertemu, dia berpaling ke arah arena panjat dinding. Bagiku dia seperti kakak yang tak pernah aku miliki. Dia pemalu, bahkan bunga eldewis darinya hanya ditaruh di tasku saat aku tak ada. Dia berkata tapi dalam senyap.
Suatu saat dia menelefon rumah, dan ayahku yang menerima. Itu telefon terakhir, sesudahnya aku tak pernah melihat lagi dia hadir di komunitas. Berkabar pun tak pernah. Dan anehnya aku tak bertanya kepada siapapun ... kenapa dan kemana. Rasanya, aku seperti paham pilihannya untuk pergi. Aku mengerti pilihannya, dan aku tak pernah marah.
Usai menutup halaman buku, kututup pula semuanya. Yap, semudah itu untukku. Tapi tak mudah dengan rasa aman yang ditinggalkannya. Dia tak pernah menyakiti, tapi anehnya saat itu aku berjanji tak akan menemuinya lagi. Never and Ever. Setelah itu semuanya lenyap sejalan dengan waktu.
Dan sekarang aku merasa ... saat itu adalah pilihannya agar aku bisa berdiri di tempatku sekarang. Padahal jika dia maju, aku siap mengorbankan segalanya. Tapi, dia memilih tidak maju selangkah pun. Dia memilih mundur sejauh dia bisa mundur. Menghilang.
Tapi Senja selalu hadir untuk hari esok ... and here i am. Watching the best Sunset
Komentar